Setelah lulus kuliah kemudian bekerja, rasanya senang
sekali, karena cita-cita yg diimpikan selama ini tercapai. Tetapi saat menikah
dan memiliki anak rasanya seperti berada dipersimpangan antara melanjutkan
mimpi atau menjalankan kewajiban baru, satu sisi ada rasa ingin berkarya dan
berkembang, tetapi disisi lain ada anak yg menatap setiap pagi, ada suami yg
menunggu istri pulang dg rasa cemas, ya begitulah takdir seorang perempuan.
Tulisan
ini lahir sebagai bentuk pengungkapan rasa, sebuah refeleksi sekaligus pengobat
jiwa.
Saya meyakini bahwa menjad ibu bekerja bukan tentang
pencapaian diri, bukan tentang gaji, bukan tentang kesibukan yg padat. Ibu bekerja
merupakan salah satu perjalanan manusia mencari keberkahan, bukan tentang
kesuksesan mencapai karier terbaik, karier cemerlang tetapi dalam Islam segala
apa yg kita lakukan merupakan ibadah selama tidak melanggar syariát. Namun,
nyatanya ini tidak mudah, ada peluh yg dirasa, ada dilema yg menyapa, ada letih
yg menghampiri, ada jenuh yg mengunjungi. Izin suami harus dikantongi, kehormatan
suami harus dihargai, batasan syariat harus dijaga, anak-anak yg merengek
setiap hari, butuh perhatian, butuh kasih sayang, butuh pelukan dan ada diri
sendiri yang merasa payah tetapi harus tetap berdiri tegap agar semua tetap
berjalan. Kadang melewati batas diri, karena kurangnya koneksi dengan illahi. Tak
jarang rasa bersalah, merasa tidak sempurna hadir menghampiri.
Lewat tulisan ini, saya ingin mengajak para ibu yg bekerja
bergandengan bersama, saling mengingatkan untuk terus meluruskan niat, memahami
batas dan tetap menjaga peran kehambaan kepada Allah baik sebagai diri, istri
dan ibu tanpa ada rasa bersalah bahkan rasa ketidak sempurnaan yg bisa memutus rahmat
Illahi Rabbi.
Semoga tulisan ini menjadi teman saat lelah menyapa, teman
untuk tumbuh bersama, bukan hanya sebagai wanita, sebagai istri atau sebagai
ibu tetapi juga sebagai hamba Allah yg bertakwa. Semoga segala peluh tidak
berakhir dengan sia-sia.
Comments
Post a Comment